Sabtu, 17 November 2007

Sawit Pembawa Rezeki

Sebanyak 560 keluarga transmigran di Desa Tidar Kuranji, Kecamatan Marosebo Ilir, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, semula mungkin tak akan mengira hamparan perkebunan sawit itu sebagai pembawa rezeki. Kini kehidupan mereka jauh berkecukupan, bahkan di antaranya telah sukses menjadi pengusaha.

Cerita mengenai para transmigran memang tidak melulu soal kerasnya hidup di tanah rantau dan penderitaan warga pendatang yang terkungkung dalam lingkaran kemiskinan. Banyaklah transmigran yang tidak kuat tinggal di daerah-daerah terisolasi dan jauh dari kota atau pusat keramaian. Sebagian malah melarikan diri kembali ke kampung halamannya karena tak tahan hidup susah selama bertahun-tahun.

Tahun-tahun awal memang selalu sulit. Itu diakui para transmigran sukses di Desa Tidar Kuranji. Rohyanto (42) adalah transmigran petani sawit yang kini sudah memiliki enam hektar kebun sawit produktif, rumah mewah di tengah desa, dan sebuah kendaraan Opel Blazer. Patokan kemapanan yang secara tak langsung muncul sebagai harapan para perantau ini telah diraihnya.

Rohyanto mengisahkan, butuh waktu lima hingga enam tahun hingga kehidupannya berangsur membaik. "Awalnya saya hanya digaji Rp 1.400 per hari sebagai buruh harian lepas," yang menjadi transmigran sejak tahun 1992.

Namun pada saat sebagian tetangganya mulai meninggalkan desa itu karena tertekan oleh beratnya pekerjaan di kebun sawit yang belum lagi panen, Rohyanto malah bertahan mengurusi dua hektar kebun yang menjadi jatah kelolaannya. Sementara itu, jatah hidup berupa 20 kilogram beras untuk ia dan istrinya, Yuli Fitrawati, serta tiga kilogram ikan asin per bulan betul-betul dimanfaatkan.

Pada tahun 2001 kesejahteraannya mulai stabil. Ia pun memberanikan diri membeli empat hektar lagi kebun sawit sesama transmigran yang meninggalkan lokasi. Saat itu harganya masih Rp 4 juta-Rp 6 juta per hektar.

Kini harga sawit terus membaik. PT Indo Sawit, perusahaan inti tempatnya menjual hasil panen membeli tandan buah segar (TBS) Rp 1.060 per kg pekan lalu, atau sedikit lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah Rp 1.030 per kg. Harga kebun sawit pun kini sudah melonjak jadi Rp 70-an juta per hektar. Namun, Rohyanto sudah enggan menjualnya karena dari hasil panen akan jauh lebih menguntungkan.

Begitu juga kelegaan yang dialami Tasminto, transmigran asal Cilacap, di perkebunan sawit Bukitsari, Marosebo Ilir. Hidup susah dan tidak betah sempat dialaminya. Namun, kerja keras juga yang kini telah membawanya menjadi pengusaha angkutan, selain meneruskan usaha penanaman sawitnya.

Keadaan ekonomi warga transmigran telah membaik, apalagi dibandingkan saat mereka masih di kampung halaman masing-masing. Namun, menurut Tasminto, warga masih membutuhkan perhatian pemerintah daerah untuk menyuplai masuknya listrik serta pemenuhan infrastruktur. "Dalam sebulan kami menghabiskan tenaga diesel Rp 600.000-Rp 900.000. Tentu sangat boros dibandingkan jika listrik sudah masuk di sini," tuturnya.

Keadaan ekonomi warga transmigran telah membaik, apalagi dibandingkan saat mereka masih di kampung halaman masing-masing. Namun, menurut Tasminto, warga masih membutuhkan perhatian pemerintah daerah untuk pemenuhan infrastruktur.
(Irma TAmbunan)Selasa, 20 Maret 2007 KOMPAS.

1 komentar:

transmigrasi mengatakan...

bagus juga ternyata sudah bisa bikin blog